Hari mulai gelap. Cahaya matahari mulai memudar, tergantikan oleh lampu neon dari rumah, kendaraan, dan bangunan ruko di sepanjang jalan. Suasana kota Bandung kini berubah menjadi lebih ceria dengan kehidupan malamnya yang tak kalah dinamis.
Aku masih duduk terpaku di halte dekat rumah. Tak kuhiraukan suara ponsel yang terus menerus bergetar dari dalam tas punggungku. Pun beberapa angkot yang menawarkan jasanya, serta orang-orang yang memandang aneh wajah sembabku akibat tangisan yang berkepanjangan.
Seperti baru bangun dari mimpi, aku tak percaya pada peristiwa yang baru saja dialami. Aku dibuang oleh keluargaku! Mestinya aku siap dengan resiko apapun ketika memutuskan perkara besar itu. Nyatanya, aku tetaplah manusia lemah. Perasaanku hancur dan terpukul, tak mau percaya kalau hal itu baru saja terjadi padaku.
Rasanya aku ingin berlari ke rumah dan mengatakan kalau aku akan mengikuti apapun keinginan Papi dan Mami asal kami bisa kembali melewati hari-hari bahagia bersama. Tapi seperti ada yang menahanku untuk tidak melakukannya. Membisikan ke telinga bahwa apa yang aku lakukan ini sudah benar.
Beruntung, tas punggung yang berisi dompet, kartu identitas, dan ponsel tidak dirampas oleh Papi, setelah sebelumnya ia melarang membawa serta barang-barang pribadiku. Paling tidak, masih tersisa identitas diri yang menunjukkan kesamaan darah kami.
Seumur hidup aku tak pernah melihat Papi semarah itu. Matanya yang merah dan tatapan yang penuh kebencian. Berbeda sekali dengan Papi yang kukenal. Sosok yang selama ini tak banyak bicara, lembut dalam bersikap, namun tegas jika berhubungan dengan prinsip dan aturan keluarga.
Papi dan Mami termasuk orang tua yang sangat memperhatikan keluarga dan anak-anaknya. Meskipun sibuk, Papi yang memiliki usaha toko bangunan berusaha meluangkan waktunya untuk keluarga meskipun itu juga sulit dilakukan. Keluarga kami bisa dibilang sangat berkecukupan dan sangat harmonis.
Mami adalah ibu rumah tangga yang hangat, lembut, baik, dan jarang sekali terlihat marah. Wajahnya mewakili kecantikan khas negeri Tiongkok, dengan mata besar yang ujungnya menyipit. Hobinya memasak dan sering mencoba resep-resep baru untuk kami. Meskipun kami memiliki tiga asisten rumah tangga, Mami tetap berusaha turun tangan langsung untuk menyiapkan hidangan yang akan kami santap. Mami adalah sahabat terbaikku. Dengannya, aku bisa mencurahkan apa saja, baik jika sedang galau ataupun senang hati.
Aku memiliki dua saudara lelaki. Alex, kakakku yang usianya hanya terpaut dua tahun dariku dan telah menyelesaikan kuliahnya di fakultas Tekhnik Arsitektur. Papi selalu mengajaknya untuk membantu di toko bangunan milik kami. Tapi Alex lebih memilih membuka usaha property bersama teman-temannya.
Sedangkan Anton, adikku yang baru kelas 5 Sekolah Dasar, merupakan sahabat baik keduaku setelah Mami. Anton sangat memujaku sebagai kakak perempuan satu-satunya. Hubungan kami bertiga sangat dekat, saling menyayangi dan peduli satu sama lainnya.
Tapi hari ini, bangunan keharmonisan keluarga Widjajakusuma harus hancur karena jalan yang kupilih.
***
Malam semakin larut. Keadaan sekitar halte mulai tampak sepi meskipun cahaya lampu masih setia menerangi. Tatapan kosongku terus menatap lurus ke depan dengan pikiran yang masih dipenuhi oleh kejadian menyakitkan tadi.
Entah berapa lama aku duduk termenung, ketika sebuah mobil Avanza putih berhenti tepat di depanku. Dari dalam keluar seorang pemuda yang sosoknya sangat kukenal. Wajahnya terpancar kecemasan yang teramat sangat.
“Alin, sudah berapa lama kamu disini?” Suara pemuda itu terdengar mendekat.
Aku menoleh ke arahnya sebentar lalu menunduk dalam diam. Tak sanggup menatap wajahnya, apalagi menjawab pertanyaannya.
“Ayo, kita pulang ke tempat kost-mu,” ucapnya lembut.
Aku bergeming, tidak merespon sedikit pun kata-katanya karena tubuhku terlalu lemas hingga tak mampu bergerak. Seperti mengerti keadaanku, pemuda itu mendekat dan berusaha membantuku bangun dari tempat duduk halte.
“Maaf Alin, ijinkan aku menyentuhmu. Maaf.”
Lalu, dengan perlahan ia memapahku masuk ke dalam mobil. Aku bisa merasakan bau harum tubuhnya ketika tangan kokohnya merangkul bahuku lembut dan membantu setiap langkahku. Mestinya aku bahagia merasakan ia begitu dekat saat ini. Merasakan betapa hangatnya rangkulan itu. Namun perasaanku kini tidak mampu bereaksi apapun, kecuali rasa hampa yang mendalam.
Dalam perjalanan, pemuda itu berusaha mengajakku berbicara. Ia bercerita betapa khawatir dirinya ketika tak berhasil menghubungiku lewat ponsel.
“Kakakku menelepon Alex sejak sore, tapi baru direspon jam sembilan malam ini. Kata Alex, kamu sudah keluar rumah sejak sore tadi. Untung Gēgē[1] Rafly tau rumahmu. Ia memberiku alamatmu dan menyarankan untuk mencarimu di sana. Alhamdulillah, aku melihatmu di halte sebelum sempat datang ke rumahmu,” sambil menyetir sesekali pandangannya melihatku yang duduk di sampingnya.
Ingin rasanya menjawab bahwa aku sangat berterimakasih atas perhatiannya dan merasa bahagia karena ia tidak meninggalkanku, meskipun keadaanku sangat kacau. Tapi aku tak memiliki tenaga, bahkan hanya untuk menggerakkan bibir ini sekalipun. Aku hanya bisa diam sepanjang perjalanan dengan tatapan kosong ke depan.
Tak lama kemudian kami tiba di depan rumah berpagar tinggi. Di sana sudah menunggu seorang gadis berjilbab panjang. Wajahnya tak kalah cemas. Matanya bengkak dan hidungnya memerah. Ia sedikit panik ketika melihat keadaanku.
“Alin. Kamu pasti kuat. Kamu pasti bisa menghadapi ini!” kata-katanya terdengar seperti ingin menangis.
Masih duduk dalam mobil, aku hanya menatapnya dengan pandangan sedih. Kemudian dengan sigap gadis itu menuntunku turun dari mobil dengan dibantu pemuda tadi.
“Sarah, kamu bisa bawa Alin masuk ke dalam sendirian?” Pemuda itu seperti memahami kerepotan gadis yang dipanggil Sarah itu ketika menopang tubuhku.
“Insya Allah bisa, Reza. Jangan khawatir.”
Pemuda yang bernama Reza itu kemudian mengangguk pada Sarah yang dibalas ucapan terima kasih karena sudah menemukanku. Kemudian ia menatapku.
“Alin, sekarang kamu istirahat dulu. Pulihkan tenaga dan tenangkan perasaanmu. Yakinlah, kamu kuat menghadapi ini semua. Perbanyak dzikir pada Allah. Allah tidak akan membebani kesulitan melampaui kemampuan manusia itu sendiri.”
Kata-kata Reza sedikit menguatkanku. Rasanya aku ingin berlari ke pelukannya, mengatakan kalau salah satu kekuatanku berasal dari dirinya. Tapi lagi-lagi aku hanya bisa menatapnya kosong, tanpa bisa menggerakkan apapun dari tubuhku.
Selanjutnya Sarah memapahku masuk ke dalam rumah dengan hati-hati. Sebelumnya ia sudah mengambil kunci rumah dari dalam tas ransel yang tak pernah lepas dari punggungku. Kemudian ia menuju kamar paling kanan yang bertuliskan namaku. Sang pemilik rumah memang sengaja menempel nama masing-masing penyewa agar mudah mengingat kami.
Di dalam kamar Sarah merebahkan tubuhku ke atas tempat tidur. Ia membuka semua yang kupakai—jilbab, tas ransel, cardigan, dan sepatu. Kemudian ia sedikit melonggarkan celana kain yang kugunakan dan mulai menyeka wajah, kaki, dan tanganku dengan air hangat. Dilanjutkan membalurkan sebagian tubuhku dengan minyak kayu putih.
“Alin, aku khawatir sekali waktu hapemu gak diangkat-angkat. Apalagi waktu Reza dapat kabar yang bilang kamu sudah keluar dari rumah sejak sore. Aku takut hal buruk terjadi padamu,” Sarah memijat-mijat jari kakiku dengan lembut.
“Reza juga begitu, dia begitu cemas akan keadaanmu. Dia sibuk bolak-balik mencari informasi dan menelepon kakaknya untuk mengetahui alamatmu. Alhamdulillah, Reza berhasil menemukanmu.”
Meskipun mataku terpejam, aku mendengar semua yang dikatakan Sarah. Sedih sekali mengetahui mereka ikut menderita akibat ulahku. Tapi tak ada yang bisa kulakukan untuk menghibur Sarah. Dalam keadaan terbaring begini, baru terasa betapa letihnya tubuh ini. Tidak, bukan hanya tubuhku yang letih. Tapi pikiran dan perasaanku juga terlalu lemah untuk kugunakan.
Setelah selesai dengan pijatan ringannya, Sarah memberiku madu, segelas air hangat, dan sebutir habatussauda. Aku hanya pasrah menerima semua pemberiannya sambil terus memejamkan mata. Terakhir, ia mengatur suhu pendingin udara di kamar dan menyelimuti tubuhku dengan selimut.
“Sekarang, kamu bisa tidur, Alin. Lepaskan semua beban pikiranmu. Insya Allah, besok pagi kamu akan merasa lebih enakan.”
Aku tidak bereaksi apapun, meskipun sebenarnya ingin sekali menangis di pelukan Sarah. Tapi, tubuhku benar-benar tak berdaya. Sekarang yang kuinginkan hanyalah tidur dan melupakan semuanya.
[1]Kakak laki-laki
Add Comment