“Keluaaarrr!!”
“Papi ….”
Papi mengibaskan tangannya hingga membuat tubuhku terjengkang. Tapi bukan itu yang membuatku sakit dan bergetar. Kata-kata Papi berikutnya membuat dunia seakan berhenti berputar.
“Bùyào jiào wǒ bàba![1] Mulai sekarang kamu bukan anakku!!”
“Papi, maafkan Alin. Wǒ qiú qiú ….”[2]
“Chūláiii!!”[3] Suara Papi yang menggelegar membuat bulu kudukku meregang ketakutan. Air mataku terus saja berjatuhan tanpa mempedulikan betapa sembabnya mata sipitku sekarang.
Aku menoleh pada Mami yang ada di ujung ruangan. Mami terlihat menangis sambil menutup mulutnya. Kukejabkan mata dengan penuh harap agar Mami mau menghampiri dan merengkuhku dengan kasihnya. Seperti yang biasa dilakukan Mami jika aku dimarahi Papi. Namun kali ini Mami hanya melihatku dengan sedih dan membuang muka sambil menahan suara tangis.
Tatapanku beralih pada Alex yang ada di samping Mami. Tapi Alex hanya menatap dingin, tanpa ekspresi sedikit pun. Sedangkan Anton hanya bisa menangis keras, tak mengerti apa yang terjadi.
“Jiejie[4] Alin, Jiejie Alin …,” Tangisan Anton menampakkan kebingungan.
“Jangan menangis! Dia bukan kakakmu lagi. Tā méiyǒu xiàjiàng Widjajakusuma!!”[5] Papi menghardik Anton kasar.
“Papi … dengar dulu penjelasan Alin.”
“Tak perlu ada yang dijelaskan melihat kamu seperti ini!” bentak Papi keras. “Anak tidak tau terima kasih! Papi menyekolahkan kamu supaya kamu bisa membela nama baik keluarga kita, melanjutkan tradisi keluarga. Bukan malah membuat malu keluarga ini!”
“Alin salah karena tidak jujur sejak awal. Alin minta maaf. Tapi ijinkan Alin menjelaskan alasan …”
“Bù xūyào rènhé jiěshì!”[6] Apa yang kamu lakukan telah mencoreng nama baik keluarga Widjajakusuma! Kamu sudah membuat aib besar di keluarga ini!”
Sadar Papi tak mungkin bisa diajak bicara, aku kembali menoleh pada sosok perempuan yang selama ini selalu melindungi dengan kasih sayangnya yang besar. Berharap agar ia mau membelaku.
“Mami ….”
Air mataku semakin deras tak tertahan manakala melihat sosok Mami yang diam menyembunyikan wajahnya, memunggungiku dengan bahunya yang bergetar keras.
“Alex ….”
Rintihan itu kualihkan pada Alex. Aku tahu betapa sayangnya ia padaku, adik perempuan satu-satunya. Tapi sikapnya masih sama, dingin. Hanya tatapan kosong yang terpancar dari kedua matanya.
“Keluaaarrr!!” Suara Papi kembali memekakkan telinga.
Aku bergeming dan terus menangis tersedu-sedu, berharap ada yang mau memahami keperihan yang tengah kurasa. Kesakitan yang teramat dalam karena penolakan dari orang-orang tersayang.
“Duìbùqǐ[7] Mami, Papi …,” rintihku pilu.
Selanjutnya Papi mencengkram lenganku, menyeretnya, dan menghempaskan tubuhku dengan kasar. Meskipun usianya mendekati kepala lima, tenaga Papi masih kuat mendorongku hingga terlempar ke teras rumah. Aku belum pernah melihat mata Papi seperti itu. Penuh kebencian dan kemarahan. Membuatku tambah bergidik ketakutan.
“Papi, maafkan Alin ….”
Papi menatapku dingin dan … brakkk!! Bantingan keras pintu menjawab rintihan pilu itu. Tinggallah diriku di teras rumah megah yang selama dua puluh satu tahun lebih telah menjadi tempatku berlindung bersama keluarga terkasih. Keluarga yang selama ini selalu memanjakkan tidak hanya dengan kasih sayang mereka, tapi juga dengan materi yang berlimpah. Karena sebagai satu-satunya anak perempuan di dalam keluarga, perhatian mereka sangatlah istimewa. Meski aku memilih untuk menjadi puteri yang sederhana dan jauh dari kemewahan.
Sambil membetulkan posisi jilbab yang tak beraturan, aku bangkit perlahan menahan rasa sakit yang ada. Bagiku, luka fisik ini tidak sebanding dengan luka besar yang kini menganga di hati. Luka karena tercampakkan oleh Papi. Sakit oleh penolakan Mami. Perih dengan ketidakacuhan Alex. Serta sedih melihat Anton yang harus melihat kakaknya terbuang seperti ini. Bangunan kasih sayang dalam keluarga kami hancur berantakan hanya karena ulahku yang berani melanggar prinsip keluarga besar Widjajakusuma.
***
[1]Jangan panggil aku Ayah.
[2]Aku mohon.
[3]Keluar.
[4]Kakak Perempuan.
[5]Dia sudah bukan keturunan Widjajakusuma.
[6]Tak perlu penjelasan apapun.
[7]Maafkan aku.
Add Comment